Pasuruan, Kamis 03 November 2022
Reporter: Angga Ardiansyah
Ramapati Pasuruan — Memasuki awal Oktober 2022, harga kedelai kembali naik.
Kenaikan harga kedelai ini sangat dirasakan dampaknya bagi sejumlah pengrajin tempe di Kota Pasuruan.
Para pengrajin terpaksa akan menaikkan harga jual tempe jika harga bahan baku kedelai tidak kunjung menurun.
Kenaikan harga kedelai ini dikeluhkan para pengrajin tempe di Kampung Rekesan, Kelurahan Pekuncen, Kota Pasuruan.
Zainul Muttaqin (43), salah satu pengrajin tempe, mengeluh jika akhir-akhir ini harga kedelai makin lama makin mahal.
Kenaikan ini semakin parah dirasakannya sejak adanya kenaikan harga bbm pada bulan September 2022 lalu.
“Naiknya paling banyak Rp 500, kadang Rp 100, Rp 50, tapi naik terus hampir tiap hari, nggak pernah turun,” ujar Zainul.
Menurut Zainul, kini harga bahan baku kedelai sudah mencapai Rp 14.000 per kilonya.
Harga kedelai ini naik dua kali lipat dibandingkan tahun 2020 dimana perkilonya hanya Rp 7000.
“Sebelum bbm naik bulan kemarin, terakhir harganya sudah Rp 12 ribu, kalau sekarang sampai Rp 14 ribu,” ungkapnya.
Dengan terus naikknya harga kedelai membuat Zainul dilema.
Untuk menaikkan harga jual dia juga masih pikir-pikir.
Karena belum lama ini dia sudah menaikkan harga tempe menjadi Rp 2500 ukuran kecil dan Rp 25.000 untuk ukuran beaar.
“Mau naikkan juga kasihan pelanggan banyak yang ngeluh. Apalagi belum sampe setahun harganya baru saya naikkan,” jelasnya.
Zainul tidak menutup kemungkinan jika kedepannya dia terpaksa menaikkan harga tempe atau mengurangi ukuran.
Apalagi jika harga kedelai tidak kunjung turun.
Zainul memperkirakan akan menaikkan harga tempe ukuran kecil menjadi Rp 3000 dan ukuran besar menjadi Rp 30.000.
“Ya kalau naik terus, ya mau nggak mau ya nanti dinaikkan, tapi bertahap ini, saya mau rembukan dulu sama reseller,” jelasnya.
Meskipun begitu, permintaan tempe tidak mengalami penurunan seiring kenaikan harga kedelai.
Dalam sehari Zainul bisa memproduksi hingga 20 kilogram tempe. Hanya saja, keuntungan yang dia peroleh semakin berkurang karena mahalnya bahan baku kedelai.
“Sehari itu omset kotornya Rp 450 ribu, belum kepotong bahan baku sama raginya, untungnya tinggal Rp 150 ribuan,” ucapnya
Hingga kini, Zainul (43) menjadi salah satu dari tiga pengrajin tempe yang masih bertahan di Kampung Rekesan. Dulunya kampung Rekesan terkenal sebagai kampung tempe karena hampir seluruh warganya berprofesi sebagai pengrajin tempe.
Namun lambat laun, profesi pengrajin tempe ini mulai banyak ditinggalkan warga.
“Saya ini generasi paling lama bertahan, kalau diitung turun temurun sudah 3 generasi, mulai kakek, bapak, terus saya,” pungkasnya.